Sabtu, 21 November 2009

Syukur Seorang Nenek

Seorang janda tua pernah mengundang saya untuk selamatan di rumahnya.
Perempuan yang sudah nenek-nenek itu saya tahu mata pencahariannya
hanya berdagang kue keliling kampung yang hasilnya tidak seberapa. Ia
hidup sendirian di Jakarta, tanpa sanak keluarga. Dan ia tinggal di
emperan rumah orang lain atas kebaikan hati si tuan rumah. Hari itu,
selepas salat Jum'at ia ingin mengadakan syukuran.

Saya pun segera datang tepat pada waktunya. Tidak berapa lama
kemudian datang pula ketua RT, imam masjid, dan seorang merbotnya.
Disusul dengan kehadiran si tuan rumah yang selama bertahun-tahun
memberikan emperan rumahnya untuk ditempati.

Sudah setengah jam saya tunggu yang lainnya tidak ada yang datang
lagi. Jadi saya tanya, "Masih ada yang ditunggu Nek?"
Nenek itu menggeleng, "Tidak ada, Ustaz. Yang saya undang hanya lima
orang, termasuk Ustaz. Maklum, tempatnya sempit."

Saya tersentuh. Orang kecil ini masih juga ingin mengadakan syukuran
kepada Allah dalam ketidakberdayaannya, sementara banyak orang lain
yang rumahnya besar-besar tidak pernah diinjak tetangganya untuk
selamatan.

"Apa tujuan syukuran ini, Nek?" saya bertanya pula.
"Begini, Ustaz," jawab si nenek. "Saya bersyukur kepada Allah karena
sejak bulan depan saya bisa mengontrak kamar ini, sebulan tiga ribu
rupiah. Tadinya tuan rumah menolak, tidak mau menerima uang saya.
Tapi akhirnya ia tidak keberatan, sehingga utang budi saya tidak
terlalu berat."

Masya Allah. Alangkah mulianya hati nenek itu. Ia yang sebetulnya
masih perlu disedekahi, tidak mau membebani orang lain tanpa imbalan.
Dan alangkah mulianya pula si tuan rumah yang tidak mau mengecewakan
hati seoang nenek yang ingin terbebas dari perasaan bergantung pada
orang lain.

Sumber: Syukur Seorang Nenek sebagaimana diceritakan oleh "Djoko
DwiPinili"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar